Depok Channel 98 Nws – Dugaan penyalahgunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Depok TA 2023,2024,2025 kembali mencuat. Proyek peningkatan jalan dan drainase di beberapa kawasan perumahan di Kota Depok diketahui dibiayai APBD , meski secara hukum tanggung jawab pemeliharaan masih berada di tangan pengembang.
Informasi yang dihimpun, proyek bernilai ratusan juta rupiah itu masuk melalui pokok-pokok pikiran (pokir) anggota DPRD Kota Depok . Ironisnya, aset jalan dan drainase tersebut hingga kini belum diserahkan pengembang kepada pemerintah daerah. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa APBD dipakai untuk membiayai fasilitas yang bukan milik daerah?
Menurut Soleh Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat Gerrakan Pemantau Korupsi dan Nepotisme ( LSM GPKN ) menilai, praktik tersebut berpotensi melanggar aturan. “Selama belum diserahkan, jalan dan drainase tetap tanggung jawab pengembang. Kalau APBD dipakai, jelas itu pengalihan beban biaya yang bisa merugikan negara,” ujarnya, Minggu 21 /9/25).
Melawan Aturan
Berdasarkan UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, pengembang wajib menyediakan dan menyerahkan prasarana, sarana, dan utilitas (PSU) kepada pemerintah daerah. Sementara UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan belanja daerah hanya boleh untuk urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.
“Kalau proyek ini dibiayai APBD, padahal masih tanggung jawab swasta, maka bisa masuk kategori penyalahgunaan kewenangan,” tambah Soleh.
Dugaan Korupsi
Praktik tersebut juga berpotensi masuk ranah tindak pidana korupsi. Pasal 2 dan 3 UU Tipikor mengancam pidana bagi siapa pun yang memperkaya pihak tertentu dengan cara melawan hukum dan merugikan keuangan negara. Dalam kasus ini, pihak yang diuntungkan adalah pengembang, sementara masyarakat yang menanggung kerugian melalui APBD.
“Ini bukan sekadar pelanggaran administrasi, tapi indikasi korupsi. Aparat penegak hukum harus segera turun tangan,” tegasnya.
Desakan Investigasi
Soleh mendesak aparat hukum, mulai dari kejaksaan hingga KPK, untuk menelusuri dugaan keterlibatan anggota DPRD maupun pihak pengembang. Transparansi dan akuntabilitas anggaran daerah dinilai menjadi taruhan utama.
Kasus ini semakin menambah sorotan terhadap praktik penggunaan dana aspirasi dewan yang kerap rawan diselewengkan. Pertanyaan publik sederhana: apakah aspirasi benar-benar untuk rakyat, atau justru untuk menyelamatkan pengembang? ujanya ( fadilah )